Mataram, MetroNTB.com - Hukum bersiwak setelah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa, baik puasa sunah atau wajib adalah makruh.
Adapun hukum ersiwak setelah tergelincir matahari adalah dimakruhkan, berdasar hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA.
Sesungguhnya perubahan bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi disisi Allah daripada wanginya minyak misk (HR Bukhari No 7538).
Hadis di atas dipahami oleh Ulama bahwa perubahan mulut umumnya terjadi ketika sudah memasuki paruh waktu puasa yakni setelah tergelincirnya matahari (waktu zuhur).
Meski mulut orang puasa sudah bau, namun mereka dilarang menghilangkanya bahkan diperintah untuk membiarkan bau mulut itu tetap terjaga. Karena bau mulut orang puasa ibarat misik di sisi Allah Swt.
Selain itu, perubahan bau mulut orang yang puasa dapat menjadi saksi atas ibadah puasanya. Oleh karena itu, bersiwak dimakruhkan pada waktu tersebut hingga tiba waktu untuk berbuka.
Imam Nawawi berpendapat bahwa hukum bersiwak setelah tergelincirnya matahari tidak makruh secara mutlak. Argumentasi ini ditinjau dari segi dalil, bukan dari segi mazhab.
Dan dari segi dalil, tidak ada penyebutan makruh dalam bersiwak. Oleh karena itu, menurut beliau tidak ada waktu yang dimakruhkan untuk bersiwak bagi orang yang puasa, baik sebelum tergelincirnya matahari atau sesudahnya.
Mengenai orang yang mumsik (enggan makan minum), seperti orang yang lupa tidak berniat untuk puasa kemudian ia menahan untuk tidak makan dan minum.
Sebagian ulama menghukumi tidak ada kemakruhan karena pada hakikatnya ia tidak berpuasa. Akan tetapi, menurut kaul mu’tamad hukumnya seperti orang yang berpuasa dan dimakruhkan bersiwak setelah tergelincirnya matahari.
Pendapat yang mengatakan bahwa kemakruhan bersiwak (setelah tergelincirnya matahari) dapat hilang ketika bau mulut berubah disebabkan tidur atau selainnya, adalah pendapat yang bertentangan dengan kaul aujah.
Menurut kaul aujah, jika seseorang tidur kemudian bangun, atau makan karena lupa kemudian ingat, maka tetap makruh bersiwak.
Meskipun terdapat perkara yang mendorong untuk melakukan bersiwak, yaitu berubahnya bau mulut sebab perkara lain, tetapi illat khuluf atau alasan hukum berdasar perubahan bau mulut sebagai pencegah atau mani’ diperbolehkannya bersiwak tetap didahulukan.
Artikel Terkait
Sunah Bersiwak saat Hendak Wudhu, Membaca Al Quran dan Bau Mulut Berubah