Peresensi : Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Lombok Barat, Saepul Akhkam
MetroNTB.com - Riset luar biasa hebat, baik dari segi konten maupun metodologi, dihadirkan oleh Robert Cribb untuk menyodorkan fakta peran para preman di era Perang Kemerdekaan.
Dengan Judul Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, Robert Cribb sukses menuturkan sindikasi para pejuang, baik secara politik maupun di era awal ketentaraan (BKR: Badan Keamanan Rakyat) dengan para jagoan atau preman yang awalnya sangat kuat dengan tradisi kriminalitas.
Sindikasi tersebut bermuara pada kesadaran kolektif untuk kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebutan preman, bahkan dengan sangat kasar Robert Cribb menyebutnya para bandit, ternyata memiliki peran yang sangat signifikan dalam memuwujudkan nasionalisme dan patriotisme.
Disertasi doktoral di School of Oriental and Africa Studies University of London ini memetakan peran para bandit tersebut bahkan sejak era Singosari.
"Ken Arok, pendiri Singosari, dahulunya adalah seorang penyamun", tulis Robert Cribb di awal pendahuluan buku Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949.
Secara historis, tumbuh kembang kekuasaan pun tidak lantas luruh dalam menempatkan kaum bandit.
Para bandit, dengan segala kekuatan dan daya destruksinya secara sosial di satu sisi dan penguasa yang bertugas menghadirkan keamanan di sisi yang lain, akhir melahirkan koalisi dengan banyaknya para ketua atau kepala bandit diangkat menjadi kepala wilayah.
Dengan pendekatan sosio dan bahkan antropo historis, riset Robert Cribb membawa para pembaca kepada kondisi dunia hitam yang ada di Batavia dan bagaimana koalisi pertama yang terbangun adalah antara para bandit kompeni tuan tanah.
Kompeni berkepentingan secara politis, tuan tanah berkepentingan secara ekonomi, dan di tengah-tengah mereka adalah para bandit yang mengambil peran ambigu.
Sesekali menjadi pengganggu keamanan (bahasa Belanda: rampokker), dan kemudian bila tertangkap beralih menjadi penjaga keamanan (ini juga sama dengan fenomena para centeng untuk para tuan tanah dan administratur Belanda).
Ketika era fasisme Jepang masuk ke Indonesia, Robert Cribb mencatatnya sebagai fase "tak tercatat" hanya karena proses koorporasi antara Pemerintah Jepang dengan para tokoh nasional yang dimotori oleh Soekarno yang tidak banyak melibatkan kekuatan dunia hitam sebagai basis sosial massa.
Namun Robert Cribb masih mencatat eksistensi para bandit yang menginfiltrasi kekuasaan.
Artikel Terkait
Resensi Buku : Keris di Lombok
Resensi Buku 'Tan Sebuah Novel'